Rabu, 18 Juli 2018

Asal-usul Orang Bentiang


Asal Usul Orang Bentiang



Bentiang merupakan desa terpencil yang terletak di pedalaman pulau Kalimantan, masih memiliki hutan rimba yang tergolong sebagai hutan lindung lebih tepatnya berada di Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Desa Bentiang terbagi menjadi empat dusun yaitu, Sejanjung, Madomong, Semame, dan Semakong. Bahasa yang digunakan oleh penduduk ini adalah bahasa Badeneh yang masih serumpun dengan bahasa Bidayuh milik Sungkung.

Dayak Bubung atau Dayo’ Kide adalah sebutan untuk orang Bentiang pecahan dari Dayak Tengon (Bi Hngon) dari kaum Kumba atau Bidayuh, yang sudah mengalami pembauran dengan penduduk sekitar yang bukan keturunan orang Sungkung. Konon, nenek moyang orang Bubung atau Bentiang berasal dari negeri Cina. Sekitar tahun 1700 sampai 1800 Masehi, rombongan Lim Thok Khian berlayar dari negerinya di provinsi Quang Dong menuju ke Asia Tenggara. Sampailah mereka di pulau Kalimantan, tepatnya di daerah Kalimantan Barat sekarang, di sekitar Kabupaten Sambas. Rombongan yang pertama datang semuanya adalah laki-laki, sebagian dari mereka menetap dan menikah dengan penduduk sekitar, sebagian lagi  menelusuri Sungai Sambas, masuk ke Sungai Kumba menuju ke Seluas dan menuju ke Sungkung. Di sinilah mereka menikah dengan penduduk setempat dan beranak cucu. Keturunan dari Cina-Dayak (Pa Tong La) ini menyebar ke daerah lain seperti kampung Tengon yang kemudian melahirkan orang Bentiang.

Penyebaran Dayak Bubung (Dayak Bentiang)

Penyebaran Dayak Bubung


Dayak Bubung asli terdapat di desa Bentiang sekarang, yaitu di dusun Sejanjung, Madomong, Semame, dan Semakong. Penyebaran lainnya adalah di Jangkak dan India’. Menurut ceritanya, pada zaman dulu terdapat sebuah kampung yang bernama Sigayoi (Sejanjung sekarang) yang terletak di hulu sungai Pade. Pada masa itu terjadi perselisihan antar dua kampung, yaitu Sigayoi dan Jangkak, perselisihan itu tidak kunjung selesai walaupun sudah melalui musayawarah dan hukum adat, hal ini menimbulkan situasi yang kian memburuk. Seakan ingin cepat menyelesaikan maslah tersebut orang Sigayoi menuangkan racun di sungai Pade, tempat dimana orang Jangkak biasa mandi dan mengambil air minum. Hal ini sangat mudah dilakukan karena orang Sigayoi tinggal di hulu sungai tersebut. Beberapa waktu setelah penuangan racun itu terjadilah kematian masal di kampung Jangkak mengakibatkan beberapa penduduk yang masih selamat pindah ke kampung Pare, Jangkok, dan Suti Semarang, sehingga hanya tersisa dua kepala keluarga. Merasa jumlah mereka sedikit akhirnya dua kepala keluarga tersebut mengajak orang-orang Bubung menetap di tempat mereka, orang Bubung tersebut namanya Katun dan Biau. Si Biau masih merasa jumlah mereka sedikit dan akhirnya memerintahkan Katun untuk membawa sanak-saudaranya yang tinggal di kampung Bubung.
Nama Biau bahkan diabadikan menjadi nama kampung, yaitu kampung Sebiau. Namun, dengan kuasanya sebagai seorang Temanggong (kepala kampung) si Katun mengubah nama kampung Sebiau menjadi kampung Jangkak, bahasa yang awalnya disebut Suti Bamayo’ berubah menjadi bahasa Badeneh (Dayak Bubung).

Riam Engkanan/Riam Kane

Riam Engkanan atau Riem Kane penduduk setempat menyebutnya merupakan riam tertinggi di desa Bentiang. Banyak orang percaya bahwa ada tragedi mengerikan yang masih dikisahkan dari generasi ke generasi oleh penduduk setempat.


Konon ada sekelompok Tamei (sebutan untuk orang yang bukan warga Bentiang) yang berjumlah sekitar 50 orang menyerang desa Bentiang. Namun, mereka harus melewati rintangan yang berbahaya, yaitu menyeberangi sungai Sambas tepat di atas riam Engkanan untuk sampai ke desa Bentiang. Ketika mereka hendak menyeberang, kabut telah menutupi daerah itu sebelum mereka tiba mengakibatkan salah satu dari mereka menyeberang dan jatuh ke bawah riam, ketika ditanya oleh beberapa orang yang belum menyeberang "sudahkah kamu sudah mencapai seberang?", "Sudah!" sahut dari seberang. Kemudian orang kedua juga menyeberang dan jatuh, ketika ditanya "apakah kamu sudah mencapai seberang? ","sudah!" sahut dari seberang. Selanjutnya, orang ketiga menyeberang dan jatuh, ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, sahutan dari seberang juga tetap sama dan begitu seterusnya. Sampailah kepada orang terakhir hendak menyeberang, tiba-tiba kabut menghilang dan terlihat olehnya mayat terbaring jatuh di bawah riam. Dari situ ia menyadari bahwa orang yang menjawab mereka sebelumnya adalah Muot (hantu penunggu suatu tempat/daerah). Akhirnya, orang terakhir yang selamat dari bahaya itu pulang dan menceritakan apa yang telah terjadi sehingga sampailah cerita itu ke telinga penduduk Bentiang.
Kisah itu memunculkan misteri di balik riam Engkanan yang masih dipercaya oleh penduduk setempat sebagai tempat yang mistis. Di masa lalu, riam Engkanan juga digunakan leluhur sebagai tempat untuk bermeditasi dan menuntut ilmu hitam dari penjaga riam. Namun, untuk mendapatkan ilmu hitam, para leluhur harus memenuhi setiap syarat yang diminta oleh penjaga riam, seperti mempersembahkan ayam putih. Ada juga cerita mistis tentang riam tersebut, karena bagi pengunjung yang bukan dari penduduk Bentiang dapat melihat penampakan di sekitar riam, bagi orang-orang tertentu mereka dapat melihat pohon jeruk yang tumbuh di situ dikatakan ada keyakinan bahwa siapa saja yang berhasil mengambil buah jeruk itu akan menjadi orang yang kuat dan kaya.
Setelah masyarakat setempat mengenal agama, sejak saat itu riam Engkanan dibuka menjadi tempat wisata, tetapi tidak sembarang pengunjung yang dapat datang dan berkunjung di tempat tersebut, hanya pengunjung yang meminta izin terlebih dahulu kepada ketua adat ataupun kepala desa setempat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, wisatawan yang ingin berkunjung juga dilarang keras membawa hewan hidup yang masih berdarah karena dapat mengundang penjaga  riam tersebut, mereka mengira ada manusia yang ingin menyembah dan meminta ilmu hitam kepadanya. Saat mengunjungi riam Engkanan para wisatawan juga bisa tersesat karena penglihatan mereka kurang jelas, tidak tahu mengapa itu semua masih menjadi sebuah misteri.
Suatu peristiwa terjadi pada tahun 2016 dimana ada sekelompok remaja yang berwisata membawa beberapa ekor ayam hidup, sampai saat kedatangan kelompok remaja itu di sekitar riam Engkanan tiba-tiba salah satu rombongan yang membawa ayam jatuh. Tapi orang itu masih beruntung karena dia tidak jatuh ke air, sementara ayam yang dibawanya sudah jatuh di dasar air.